PKS Siap Menuju 3 Besar

Rabu, 14 Desember 2011

TERGUSURNYA BUDAYA RAKYAT

Pelan tapi pasti, keragaman budaya daerah akan tinggal kenangan generasi selanjutnya. Anak-anak kita nanti mungkin hanya bisa menemui di museum-museum budaya bahwa pernah ada di Minang Kabau berbagai budaya lokal yang sudah punah. Gempuran hebat budaya asing dari segala penjuru saat ini telah berakibat negatif terhadap keberadaan budaya minang kabau khususnya Padang Pariaman.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Salah seorang wakil rakyat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Herizal Lazran melontarkan kerisauannya karena makin hilang berbagai kesenian daerah yang sebetulnya bisa menarik wisatawan. Hal ini disampaikan ketika menghadiri Latihan Tambua Tasa di Korong Sungai Pua, Tanjuang Mutuih, Nagari Koto Dalam, Kecamatan Padang sago belum lama ini.

“ Kesenian daerah seperti Tambua Tasa, rabab galuak dan lainnya, sudah tidak banyak orang yang tertarik. Para pemainnya sudah pada tua semua. Jika mereka meninggal, habislah generasi tersebut” ungkap Bapak yang kerap di panggil buya.

Herizal mengakui, selama ini memang belum ada keseriusan Eksekutif dan legislatif dalam menjadikan kesenian anak nagari sebagai bagian utama penarik wisatawan. “ Baik pemerintah maupun legislatif masih kurang perhatian terhadap ini. Belum ada anggaran khusus dalam menghidupkan kesenian tersebut, mungkin belum prioritas, apalagi sejak gempa 2009, Pemerimtah sibuk membagikan bantuan gempa” paparnya.

Agar terjadi regenerasi, lanjut Herizal, perlu di lakukan rekruting kepada yang muda-muda. Lakukan latihan berkala dan penjelasan pentingnya melestarikan budaya tersebut. Menanggapi hal itu, Lukman, salah seorang putra Sungai Pua, mengatakan bahwa upaya kearah itu sudah dilakukan. Selain latihan rutin tiap malam minggu, kelompok Tambua Tasa ini kerap juga diperlombakan. Bahkan tidak jarang mendapat juara satu dan dua. Mamang sebagian besar anggota tambua tasa masih di dominasi yang tua-tua, walaupun juga ada yang muda.

Lain hal nya Rabauk Galuak, sampai sekarang nyaris tidak ada penerusnya. Salah seorang generasi terakhir rabauk galuak, Abdullah (70), mengatakan bahwa sejak orgen tunggal masuk ke kampung-kampung, sudah mulai jarang panggilan untuk tampil. “Anak-anak tidak mau melanjutkan, meraka maunya orgen tunggal. Sejak orgen masuk, ba rabauk tidak lagi menjadi kerja utama, sekarang hanya menggarap sawah” sesal bapak yang kerap dipanggil kiau.

Tinggal bagaimana usaha kita, tambah Herizal, dalam meletarikan budaya ini ditingkatkan lagi. “Kehadiran saya malam ini juga sebagai upaya melestarikan budaya piaman laweh” tambahnya.

Dilaporkan oleh : Ahmad Tosri

1 komentar:

Azam TC Padang Pariaman mengatakan...

Lanjutkan Ustadz...Semoga Allah meridhoi setiap gerak langkah kita.Amiin..

Posting Komentar

 

KABAR DPC

KIPRAH KEWANITAAN

KOLOM